Selama
pilkada berlangsung aneka ragam “claim” sana sini bermunculan. Satu persatu
memunculkan diri dengan identitas mereka masing-masing. Ada dari kalangan anak
muda, komunitas, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Kehadiran mereka tentunya membawa
visi misi masing-masing dengan pandangan yang berbeda untuk menentukan sikap
dalam pilkada.
Dalam konteks
kekinian, “aswaja” menjadi kata primadona yang sering digunakan oleh
orang-orang yang merasa kental dengan agama dan mengamalkan segala nilai-nilai
yang terkandung pada manhaj ahlus sunnah waljama’ah. Tentunya, mengatasnamakan diri dengan istilah komunitas
atau kelompok tertentu menjadi hak pribadi masing-masing kelompok dengan segala
keyakinan dan prinsip yang mereka pegang.
Lantas, selama pilkada berlangsung,
siapakah aswaja sebenarnya?
Seperti kita
ketahui, kalimat “aswaja” mulai ramai dibicarakan di Aceh setelah terjadi
kisruh “ teriak-teriak” dalam Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh saat khutbah
Jum’at sedang berlangsung, padahal istilah aswaja sudah lama diketahui dan
diikuti manhajnya orang Aceh sejak dahulu kala. Kemudian disusul lagi dengan
kejadian-kejadian yang seharusnya tidak terjadi dalam rumah Allah di beberapa mesjid di Aceh, termasuk penutupan
atau penggerebekan tempat pengajian setahun yang lalu. Bahkan tak cukup sampai
disitu, upaya menamakan diri dengan “aswaja” hingga ke kampanye akbar berpusat
di Makam Syiah Kuala yang membuat seluruh kader aswaja di kabupaten/kota
berduyun-duyun bergerak ke Banda Aceh untuk melakukan orasi identitasnya
sebagai aswaja, hingga tersematnya gelar “ Umar Bin Khattab” masa kini kepada
sang Panglima, Tgk. Haji Muzakkir Manaf.
Sat itu,
saya pribadi prihatin atas segala kekacauan yang terjadi, yang merongrong persatuan
ummat. Sadar tidak sadar kita sedang diadu oleh lawan dengan isu agama dan
keyakinan. Kepanikan dan ketidaktahuan kita terhadap ilmu seseorang, membuat
kita dengan mudahnya menghukum orang dengan istilah tertentu, wahabi dan
sebagainya. Memang firqoh wahabi wa ashabuhu itu ada, tapi bukan semudahnya
kita menstempel orang dengan istilah tersebut sebelum kita ketahui siapa
dia sebenarnya dan memiliki bukti yang valid dan konkrit. Yang saya sesali saat
itu adalah mencaci, merendahkan keilmuan orang lain dan sebagainya. Sehingga media
sosial saat itu dipenuhi dengan berita fitnah dan kejelekan saudara sendiri
yang tanpa kita sadari musuh islam mempelajari kelemahan kita.
BACA JUGA :
Merujuk
pada makna aswaja yang sebenarnya, istilah aswaja disematkan bagi siapa saja yang mengikuti sunah Nabi SAW dan menjaga jama’ah
(khilafah) kaum muslimin, bukan hanya kelompok atau mazhab tertentu.
Karena aswaja bukan sebuah mazhab atau kelompok melainkan sebuah mahhaj, jalan atau
tuntunan. Singkatnya, seseorang
layak disebut sebagai Aswaja manakala ia senantiasa berjalan diatas
kebenaran. Kebenaran adalah Islam dan sunnah Nabi SAW. Kebalikannya seseorang
yang tidak berjalan diatas Islam, juga tidak diatas sunnah Nabi SAW maka ia
bukanlah aswaja meskipun ia mengkalim dirinya seorang aswaja seribu kali.
Untuk Aceh sendiri, mayoritas kita adalah Mazhab Syafi’i (untuk saat ini saya
pribadi belum mengetahui apakah ada yang menggunakan mazhab lain). Apakah anda
termasuk aswaja ? mengamalkan ajaran islam mengikuti sunnah rasul dan menaati segala
perintah dan menjauhi larangan Allah dan rasulmu ? tentu yang menjawab ini
semua diri kita sendiri, sejauh mana kita menjalani dan menaati segala bentuk
perintah dan larangan agama yang kita yakini.
|
Kebersamaan Aswaja Aceh dalam Memerangi Wahabi | Photo : Serambi Indonesia |
Tapi, Alhamdulillah, sejak kasus Ahok menista
agama bergulir, ummat islam kembali bersatu, seakan hilang akan perbedaan yang
terjadi selama ini, yang sempat membuat kita terkotak-kotak, saling mencaci
sesama muslim, saling menghina, membuka aib sesama saudara kita seiman, yang pada
hakikatnya perangai tersebut jauh dari ajaran islam.
Kini, kalimat aswaja itu terdengung kembali
dari sudut-sudut daerah untuk mendukung pasangan calon masing-masing. Ramai-ramai
mengklaim diri mereka masing-masing mendukung pasangan calon tertentu. Sudah pasti,
membawa nama aswaja memiliki tujuan yang pasti, untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih
pasangan calon yang didukungnya, menghipnotis masyarakat dengan aroma
keaswajaannya untuk memenangkan pasangan calon yang dijagokannya.
BACA JUGA :
Maklum, perbedaan pendapat dalam bingkai
politiklah yang membuat kader aswaja terpecah. Dan hal tersebut sangat wajar
terjadi pada setiap individu atau kelompok sebagai makhluk hidup. Tentu kita punya selera
yang berbeda bukan? Yang jelas aswaja tetap aswaja, di politik boleh berbeda,
yang penting akidah dan keyakinan tetap sama.
Jadi, tidak ada kelompok aswaja yang wajib
kita ikuti dalam pentas politik. Karena mereka, kita punya pilihan masing-masing. Siapa
saja bisa menamakan diri aswaja, selama ia mengikuti manhaj ahlu sunnah wal
jama’ah. Maka masyarakat tidak perlu bingung menentukan pilihannya, jika
ada kelompok tertentu, baik itu aswaja atau lainnya menentukan sikap politiknya,
pilih saja sesuai pilihan hati masing-masing yang menurut kita layak menjadi
memimpin, dan memiliki sifat shiddiq, amanah, tabligh, fathanah.
Pun, begitu dengan muncul kelompok-kelompok
tertentu menamakan aswaja ini itu saat pilkada, jangan mencaci atau menghujat
mereka, menjelekkan, merendahkan dan sebagainya. Politik mendidik kita agar semakin
dewasa memandang sebuah perbedaan. Jadikan perbedaan itu sebuah keindahan dalam
berpikir. Karena Aswaja adalah KITA.
Sekian.
_______________________________
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi. jika ada yang berminat membaca tulisan ini , dan menemukan kesalahan silakan di komentari dibawahnya, tak perlu menghujat. kata-kata dibalas dengan kata-kata. Karena Kebenaran akan kita ketahui setelah melakukan kesalahan. Salam Blogging #
BACA JUGA :